muara kebaikan

Group of children exploring nature at a summer camp, wearing scouting uniforms and using binoculars.

Ini merupakan sepenggal kisah tahun pertama saya mengajar di Sekolah Alam Gaharu. Saya langsung ditempatkan di kelas MI 4 yang saat itu bernama MI 4 damdaman dan dipasangkan dengan partner dengan etos kerja yang sangat tinggi, yaitu Bu Tria. Belum genap satu tahun saya berada di sini, pandemi sudah menyapa. Pembelajaran pun beralih menjadi daring. Meskipun pertemuan tatap muka lebih menyenangkan daripada harus bertemu secara virtual melalui grup whatsapp, kami tetap menjalaninya dan menikmatinya.

Karena tidak semua orang tua bisa mendampingi ketika jadwal belajar daring, maka sekolah memfasilitasi untuk mengadakan kelas review yang diadakan malam hari. Tujuannya agar teman-teman kecil yang tidak hadir belajar daring di siang hari, tetap bisa mengikuti pembelajaran. Di kelas review, selain membahas materi yang dipelajari siang hari, kami juga melakukan refleksi pembelajaran pada hari tersebut. Hari itu adalah hari jumat, secara terjadwal kami melakukan Ganbatte atau Girls and Boys Talk yang biasanya membahas hal-hal seputar topik remaja.  Karena metodenya klasikal tidak dipisah sesuai gender, maka bahasan kali ini bersifat umum. Maka kupilih untuk membahas kisah salah satu tabiin, yaitu ibnu Sirrin.
Setelah link video dikirim pada siang hari, malamnya selepas isya, kami merefleksikan kisah Ibnu Sirrin. Metode refleksi yang dipilih adalah dengan menggunakan quiz review. Merasa terharu dengan jawaban teman-teman MI 4 ketika kuis berlangsung. Meskipun online, teman-teman tetap mengikuti pembelajaran dengan baik, dan saya pun terpukau dengan daya tangkap dan pemahaman teman-teman MI 4 ini yang sangat mendalam.  Sebutlah MI 4 ini adalah angkatannya Ula, Hanin, Iman, Allya dan kawan-kawannya yang sekarang sudah ada di kelas 6.

Saat kuis review berlangsung, saya memantik mereka dengan pertanyaan klise nan sederhana, “apa pelajaran yang bisa diambil dari kisah ibnu Sirrin?”.  Sekilas saja ya tentang ibnu sirrin. Ibnu Sirrin adalah tabiin- murid dari sahabat nabi yang menjadi úlama besar. Suatu hari dia membeli madu segentong besar, jika dikonversikan sekitar 250 kg madu. Madu itu dimaksudkan untuk dijual kembali. Namun pada suatu malam, ia lupa untuk menutup gentong madu tersebut. Akibatnya ada seekor tikus yang masuk ke gentong yang berisi madu tersebut. Karena Ibn Sirrin bersifat wara atau berhati-hati, ia buang segentong madu tersebut ke aliran sungai. Ia tidak bisa menjual madu yang sudah terkontaminasi bakteri yang dibawa oleh tikus tersebut. Maka ketika orang yang menitipkan madu untuk dijual ibn Sirrin ini menagih bayaran madu yang sudah jatuh tempo tersebut, Ibn Sirrin tidak mampu membayarnya. Ia mengadukan pada hakim, dan singkat cerita karena ia tak mampu membayar, ia pun dipenjarakan. Sebetulnya petugas hukum memberi keringanan agar Ibn Sirrin tidur di rumah keluarganya dan makan disana, namun karena ia  merasa harus membayar kesalahan serta utangnya dan ia lebih takut akan hukuman akhirat, ia pun tetap memilih di penjara dan ia semakin dekat dengan Allah dan meminta jalan keluarnya hanya pada Allah, sekalipun petugas-petugas hukum itu memberinya keringanan. Berita Ibnu Sirrin ini tersiar di seluruh Bagdad. Atas gerakan peduli dari masyarakat Bagdad, mereka mengumpulkan uang untuk membayarkan utang Ibn Sirrin.  Akhirnya Ibn Sirrin bebas dari penjara.

Setelah pertanyaan kuis review itu dilontarkan, cukup banyak teman-teman yang berpartisipasi untuk menjawabnya. Ada yang mengetik, “kita belajar dari Ibn Sirrin untuk menerima keadaan apapun dengan bersabar” adapula yang menjawab dengan  uraian yang lugas “Ibn Sirrin sudah berusaha bertaqwa pada Allah dengan jujur akan keadaan dagangannya, meskipun konsekuensinya di penjara karena merugi dan tidak mampu membayar kerugiannya, namun allah memberikan  jalan keluarnya karena ibn Sirrin bertaqwa”. Ada pula anak yang merefleksikan kisah itu dengan kalimat “tidak ingin menjerumuskan diri ke neraka dan takut akan hari penghisaban”. Saya sebagai fasilitator yang hanya memandu refleksi merasa terharu dengan jawaban yang menurut saya sangat dalam. Melebihi dugaan saya yang sepertinya mereka akan menjawab  “tentang berdagang dengan jujur”. Ternyata jawaban sekenanya mereka dapat saya simpulkan, semua nilai ; jujur, sabar dalam menerima takdir dari Allah, sayang diri sendiri agar tidak terjerumus ke neraka adalah nilai-nilai kebaikan yang bermuara pada taqwa, derajat tertinggi yang dicapai oleh seorang muslim. Sehingga kisah dan refleksi dengan teman-teman MI 4 tentang Ibnu Sirrin dan madunya mengingatkan saya pada perkataan Allah di QS At Talaq ayat 2-3 “Siapapun yang bertaqwa (yang sadar akan Allah) maka akan disediakan jalan keluar (dari setiap persoalan)  dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka.“ (-Syifa Tsaniati)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top